Beri Aku Isyarat #1

Hujan turun cukup deras sepanjang sore itu. Aku berdiri di sudut kamarku sambil menatap ke luar lewat jendela kamarku. Sementara rintik-rintik hujan seolah mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarku di antara volume mp3 yang kusetel di komputer. Saat itu sedang mengalun lagu "Heaven"-nya Bryan Adams (versi akustik yang dinyanyikan ulang oleh DJ Sammy). Tanpa kusadari jari telunjukku seolah bergerak sendiri--entah itu terpengaruh oleh ritmik lagu atau tidak--dan membentuk sebuah nama di atas kaca jendela yang berembun. R-U-B-E-N. lalu tanpa bisa kucegah lagi anganku pun segera membayangkan tentang sosok cowok itu...

Uh, menyebalkan! Kenapa sih aku mesti memikirkannya?

Namun detik berikutnya diriku benar-benar telah hanyut terbuai dalam lamunan...

Aku ingat, dan akan selalu kuingat, ada banyak saat 'indah' dan 'aneh' yang kulalui sama Ruben. Setiap hari di sekolah terasa begitu menyebalkan sekaligus... menyenangkan (uh, aku malas sekali sebenarnya untuk mengakuinya!) bersamanya.

Misalnya, pada saat jam pelajaran terakhir hari itu aku sedang konsentrasi mencatat penjelasan Bu Matilda, Guru Bahasa Inggris-ku, di papan tulis. Tiba-tiba sebuah bola kertas jatuh tepat di atas kepalaku. Itu adalah selembar kertas yang telah diremas sedemikian rupa hingga berbentuk menyerupai bola seukuran bola pingpong. Tuk!

Sial, siapa yang menimpukku? Pasti dia!

Aku segera menoleh ke meja Ruben yang terletak dua meja dari deretan belakang di lajur sebelah kananku. Kulihat cowok itu sedang nyengir, menikmati kesuksesan arah lemparannya yang akurat. Cengirannya persis kuda sumbawa--hieee...!

Sambil berdengus, aku lalu memungut kertas yang dilemparkannya itu. Kemudian kubuka, kubaca tulisan yang tertera di dalamnya. Berikut bunyinya: 

"Dita jelek!
Wajah lo kelihatan tambah jelek kalau lagi serius nyatet seperti itu, tau! :D 

--Ruben"

Wajahku langsung berkerut. Lobang hidungku bergerak kembang kempis meradang geram. Sial! makiku dalam hati. Dasar cowok menyebalkan!-Gue benciiii...

Aku lalu menuliskan kekesalanku itu di balik kertas yang dilemparkannya padaku tadi, kuremas, dan kulemparkan kembali bola kertas itu ke meja si empunya.

"Dita!" Tiba-tiba terdengar suara Bu Matilda menyalak-eh, berseru! "Apa yang kamu lemparkan barusan itu, hah?" tanyanya.

"Ng... anu, Bu..."

"Umm... Gini, Bu, sebenernya Dita mau ngajak saya jalan sepulang sekolah nanti," celetuk Ruben menyela, mengambil alih--bukan, tepatnya menyabotase--pembicaraan. "Tapi saya belum menjawabnya, karena itulah Dita lalu melemparkan kertas ini untuk meminta jawaban saya."

Seketika seisi kelas langsung bergemuruh dan bersorak "Wuuuuuuuuuuuu...!" panjang.

"Hah? A-apa...!?" Aku bengong. Kaget luar biasa.

Sialan! Bullshit banget tuh cowok! Dasar menyebalkan! Gue benciiii! Gue benci diaaaa...

"Sudah, sudah! Diam!" hardik Bu Matilda menenangkan suara riuh anak-anak. "Dengar, Dita, saya juga pernah muda dan saya tau itu memang hak kamu. Tapi kamu harus camkan ini baik-baik, kalau saya tidak suka jika kamu main-main dalam pelajaran saya--kecuali kalau kamu mau saya keluarkan."

Eh? Siapa yang main-main? Yang main-main dari tadi itu dia, si Ruben yang menyebalkan itu!

"Dengar anak-anak, ini juga berlaku buat kalian semua! Saya tidak suka kalau ada yang main-main seperti ini dalam pelajaran saya. Coba kalian bayangkan, akan jadi bagaimana nantinya nasib bangsa ini kalau kalian semua, para generasi muda penerus bangsa, kerjanya hanya main-main. Tidak disiplin..." Bu Matilda kemudian mulai berceramah panjang lebar (huff... itu memang hobinya sih!) yang membuat wajahku merah padam seperti tomat busuk. Karena topik ceramah itu sendiri bermula dari dirku dan dimaksudkan untuk menyindirku. Aku merasa sangat kesal, sekaligus malu di hadapan teman-teman sekelasku.

Selanjutnya...

Beri Aku Isyarat #2
Beri Aku Isyarat #3


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Princes_ikhaUnyu"

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger