Beri aku isyarat #3

“Yuk, Man, kita balik ke kelas!” kataku cepat, membalikkan badan. “Bentar lagi bel masuk!”
“Tapi, Ta…”
“Sekarang, Man! Please…
Demi melihat nanar di pelupuk mataku yang seperti berkabut, Manda akhirnya mengangguk.
“Kenapa sih, Ta?” tanya Manda begitu kami sudah kembali ke kelas. “Kenapa lo begitu kesel melihat Ruben sama cewek lain?”
“Gue? Kesel melihat Ruben sama cewek lain? Sorry deh!” Aku tersenyum, getir.
Aku tahu, aku hanya berusaha untuk menutupi perasaanku sendiri. Tapi ternyata Manda bisa lebih tahu tentang perasaanku yang sesungguhnya.
Manda tersenyum lembut. “Nggak usah ditutupin lagi, Ta,” katanya. “Gue ini sahabat lo, jujur sama gue. Jujur sama perasaan lo sendiri…”
“…”
“Hmm, sepertinya lo sudah bener-bener terinfeksi sindrom itu.”
“Sindrom apa?”
“Sindrom ini gue beri nama: Sindrom Jatuh Hati Sama Seseorang yang Suka Mengganggu Lo.”
Tapi aku masih berkelit. “Gue? Sama Ruben? Nggak mungkin lah!”
“Kalau gitu coba tanya hati lo!” Manda mengerlingkan sebelah matanya penuh arti.
***
Sekarang rintik-rintik hujan yang turun sepanjang sore yang kelabu itu mulai mereda. Aku membuka daun jendela kamarku di lantai atas, kubiarkan udara dingin menghambur memasuki seluruh kamarku. Seperti anak kecil yang terpana pada remah-remah popcorn yang meletup dan merembes keluar dari panci sang penjual, lama kupandangi titik-titik bening yang mengucur dari tepi genteng dan merembes dari talang air. Kemudian di antara kekesalan dan kegalauan yang melanda hatiku, aku berteriak sekeras-kerasnya di ambang jendela itu.
“Ruben jelek! Dasar cowok menyebalkan sedunia! Gue benci! Gue benciiii…!!”—aku berhenti sejenak, terengah-engah. Lalu pelan, seolah berbisik pada dedauan pohon belimbing di halaman di bawahku, aku melanjutkan: “Gue benci sama diri gue sendiri… karena sebenernya gue telah jatuh cinta sama lo…”
Setelah itu, tiba-tiba terngiang kembali kelanjutan kata-kata Manda di sekolah tadi di dalam kepalaku:
“Gue kasih tau ya, cowok itu kadang suka melakukan hal-hal yang aneh untuk menarik simpati cewek yang disukainya. Dan sepertinya Ruben itu termasuk tipe cowok yang sulit untuk mengkomunikasikan perasaannya pada cewek yang disukainya. Sayangnya, selama ini lo juga nggak bisa menangkap isyarat darinya itu. Yang ada elo malah merasa kesel karena Ruben selalu saja mengganggu lo dan ujung- ujungnya kalian jadi berantem. Tapi sekarang lo sudah ‘kena’ ‘kan? Dia, si Ruben yang menyebalkan sedunia menurut lo itu, telah berhasil menarik simpati lo… Sejak hari itu lo bilang ‘Kenapa dia nggak pernah mengganggu gue lagi belakangan ini?’, gue sudah bisa menebak perasaan lo yang sesungguhnya ke Ruben. Hanya saja lo yang selama ini terus menyangkalnya,” Manda tersenyum. Ia benar.
Kemudian gantian kata-kata Ruben waktu itu yang terngiang dalam kepalaku, bagai pertunjukan slide yang di-rewind.
“… Karena itu menyenangkan buat gue. Gue suka sekali saat mengganggu lo.”
Wah, payah ya, kok begini saja aku sudah nangis? Ketika itu tiba-tiba saja sebongkah bening menitik di punggung tanganku yang memegangi bingkai jendela. Dasar cengeng!
“Dita! Wuoi, Dita…!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan Adit, kakakku yang lebih tua dua tahun di atasku, dari ruang TV di bawah. “Ada telepon tuh dari cowok lo, si Ruben!”
Hah!? Ruben?
Aku segera menyeka air mataku, dan seketika aku langsung bergegas keluar dari kamarku. Sesaat sebelum meraih gagang telepon kurasakan irama jantungku berdegup sangat kencang. Dag dig dug! Aku gugup.
“Hallo?” kataku. Aku jadi bertambah gugup setelah mendengar suara Ruben pada detik berikutnya.
“Hallo, Dita? Lo kenapa? Kok suara lo parau begitu? Elo sakit, ya? Pantes saja gue telepon ke ha-pe lo, nggak aktif.” (Sebenarnya ponselku sedang di-charge setelah tadi mati total dimainin game) “Tunggu sebentar, gue segera ke sana ya! Oh ya, tadi pagi gue melihat lo di kantin, tapi kenapa lo malah pergi pas gue pangil?”
Ah, Ruben, aku kangen sekali mendengar suaramu…
Aku senang sekali.
Seperti senyum cerah warna-warni pelangi itu—yang kulihat dari balik jendela—yang membentang dengan indah di langit selepas hujan sore itu.
“Hallo? Hallo, Dita? Lo masih disitu ‘kan?”[]

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Princes_ikhaUnyu"

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger