Beri aku isyarat #2

“Ditaaa…!! Tunggu, Dit! Elo marah ya?” Ruben terus saja mengejarku di sepanjang koridor setelah sekolah dibubarkan siang itu. “Oke deh, gue ngaku salah. Gue memang salah sama lo tadi. Gue minta maaf…”
“Maaf?” cecarku. “Mudah sekali lo ngucapinnya. Gue bener-bener malu di kelas tadi. Bercanda lo itu nggak lucu, tau! Kelewatan malah! Kenapa sih lo selalu saja gangguin gue?”
“Hehehe! Kenapa ya? Karena itu menyenangkan buat gue kali ya…”
“Apa?” Dahiku mengernyit kesal.
“Gue suka sekali saat mengganggu lo…” Ia tersenyum. Sungguh menyebalkan, coba!
“Lo sakit ya? Tapi buat gue, gue sama sekali nggak suka! Kenapa sih harus gue? Kenapa lo hobi banget menjadikan gue sebagai objek lawakan lo? Kenapa lo mengganggu anak lain saja dengan gaya bercanda lo yang aneh dan nggak mutu itu! Gue benci, tau! Gue benci sama lo… Puas!?”
Aku bener-bener marah hari itu. Setelah itu aku lalu pergi meninggalkannya begitu saja, tak peduli pada beberapa anak yang tiba-tiba berhenti di koridor dan menyaksikan pertengakaran kami. Setelah beberapa langkah, mendung di hatiku agaknya mulai mereda dan aku menoleh, kulihat saat itu sepertinya ada sesuatu yang lain pada ekspresi wajah Ruben yang tampak begitu tercengang. Aku akui sebenarnya aku merasa tidak enak juga memarahinya seperti itu di depan umum.
Tapi siapa coba yang duluan mempermalukanku di depan umum?
***
“Eh, Man, lo merasa nggak sepertinya ada perubahan pada diri Ruben”
“Berubah gimana maksud lo? Jadi Spiderman gitu? Hehehe…”
Please, Man! Gue serius. Nggak tau deh, tapi kayaknya gue merasa Ruben selalu diam setiap kali ketemu sama gue. Dia nggak pernah lagi gangguin atau ngejahilin gue belakangan ini.”
“Ya, berarti bagus dong!—Eh? Atau…” Manda, teman sekelasku itu, mendadak langsung cengar-cengir sambil melirikku dengan pandangan aneh, tapi lebih ke usil sebenarnya.
“Kenapa sih?” tanyaku curiga.
“Nah, lho? Sejak kapan sih lo mulai mikirin Ruben? Bukannya lo dulu selalu bilang kalau Ruben itu adalah makhluk paling menyebalkan sedunia! Jangan-jangan lo…”
“Jangan-jangan apa? Idiih, nggak mungkin lagi!” Aku mencubit lengan Manda. Dan anehnya, bukannya kulit tangannya yang memerah sebagai akibat bekas cubitanku, melainkan mukaku yang tiba-tiba tanpa dinyana bersemu merah.
***
Sudah dua minggu berlalu sejak Ruben tak pernah menggangguku lagi. Dan anehnya, aku kini malah merindukan kejahilan-kejahilannya yang konyol dan aneh itu, yang kadang malah membuatku kesal plus gondok setengah mati. Entah kenapa, tak bisa kujelaskan perasaan yang menderaku, tapi aku kok tidak menyukai melewati hari-hari sekolah yang seperti ini. Aku merasa hari-hari yang kulalui begitu sepi.
Sebenarnya, aku ingin sekali bisa berbicara dan bercanda-canda seperti dulu lagi dengan Ruben, tapi aku tak tahu harus bagaimana memulainya. (Oke, aku akui, sebagai cewek aku juga merasa gengsi dong kalau harus menegurnya lebih dulu!). Dan sekarang, setiap kali kami bertemu di kelas pun kami hanya cukup saling melempar senyum saja. Tak lebih. Aku merasa seolah ada dinding kekakuan dan kecanggungan yang membenturku setiap kali aku berusaha untuk menyapanya terlebih dulu…
***
Tak terasa, waktu begitu cepat bergulir, dan satu bulan pun berlalu.
“Dit, lo pasti nggak akan suka melihat ini!” seru Manda padaku, ketika itu tengah jam istirahat. Dengan tergopoh-gopoh ia menyeretku dari ruang perpustakaan menuju kantin. Bu Indah, sang pustakawan, memandang kami dengan alis berekerut karena kegaduhan yang ditimbulkan oleh tingkah kami itu.
“Sebenernya ada apa sih, Man?” kejarku, kubiarkan Manda menarik lenganku.
“Sudah, pokoknya lo lihat sendiri saja nanti!” ujarnya semakin membuatku penasaran.
Akhirnya begitu kami telah sampai di kantin, Manda langsung menunjukkan padaku apa yang harus kulihat. Ternyata di sebuah meja di sudut kantin kulihat Ruben tengah duduk berdua dengan seorang cewek manis. Kalau tidak salah cewek itu adalah anak kelas sepuluh, adik kelasku. Mereka tampak akrab sembari masing-masing menikmati seporsi mie ayam dan teh botol, diselingi canda tawa. Mereka kelihatan cocok satu sama lain.
Ah, Ruben pasti sedang menceritakan lelucon-lelucon konyolnya padanya, pikirku. Dulu ia juga suka menceritakan lelucon-lelucon seperti itu padaku, agak garing sih sebenarnya, tapi ia berhasil meyakinkanku untuk tertawa terbahak-bahak setelahnya—lelucon-lelucon itu dulu milikku…
Milikku? Eh?
Ruben…—uhh! Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, aku merasakan kekesalan luar biasa yang menyesakkan rongga dadaku.

[bersambung...]

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Princes_ikhaUnyu"

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger