Beri aku isyarat #3

“Yuk, Man, kita balik ke kelas!” kataku cepat, membalikkan badan. “Bentar lagi bel masuk!”
“Tapi, Ta…”
“Sekarang, Man! Please…
Demi melihat nanar di pelupuk mataku yang seperti berkabut, Manda akhirnya mengangguk.
“Kenapa sih, Ta?” tanya Manda begitu kami sudah kembali ke kelas. “Kenapa lo begitu kesel melihat Ruben sama cewek lain?”
“Gue? Kesel melihat Ruben sama cewek lain? Sorry deh!” Aku tersenyum, getir.
Aku tahu, aku hanya berusaha untuk menutupi perasaanku sendiri. Tapi ternyata Manda bisa lebih tahu tentang perasaanku yang sesungguhnya.
Manda tersenyum lembut. “Nggak usah ditutupin lagi, Ta,” katanya. “Gue ini sahabat lo, jujur sama gue. Jujur sama perasaan lo sendiri…”
“…”
“Hmm, sepertinya lo sudah bener-bener terinfeksi sindrom itu.”
“Sindrom apa?”
“Sindrom ini gue beri nama: Sindrom Jatuh Hati Sama Seseorang yang Suka Mengganggu Lo.”
Tapi aku masih berkelit. “Gue? Sama Ruben? Nggak mungkin lah!”
“Kalau gitu coba tanya hati lo!” Manda mengerlingkan sebelah matanya penuh arti.
***
Sekarang rintik-rintik hujan yang turun sepanjang sore yang kelabu itu mulai mereda. Aku membuka daun jendela kamarku di lantai atas, kubiarkan udara dingin menghambur memasuki seluruh kamarku. Seperti anak kecil yang terpana pada remah-remah popcorn yang meletup dan merembes keluar dari panci sang penjual, lama kupandangi titik-titik bening yang mengucur dari tepi genteng dan merembes dari talang air. Kemudian di antara kekesalan dan kegalauan yang melanda hatiku, aku berteriak sekeras-kerasnya di ambang jendela itu.
“Ruben jelek! Dasar cowok menyebalkan sedunia! Gue benci! Gue benciiii…!!”—aku berhenti sejenak, terengah-engah. Lalu pelan, seolah berbisik pada dedauan pohon belimbing di halaman di bawahku, aku melanjutkan: “Gue benci sama diri gue sendiri… karena sebenernya gue telah jatuh cinta sama lo…”
Setelah itu, tiba-tiba terngiang kembali kelanjutan kata-kata Manda di sekolah tadi di dalam kepalaku:
“Gue kasih tau ya, cowok itu kadang suka melakukan hal-hal yang aneh untuk menarik simpati cewek yang disukainya. Dan sepertinya Ruben itu termasuk tipe cowok yang sulit untuk mengkomunikasikan perasaannya pada cewek yang disukainya. Sayangnya, selama ini lo juga nggak bisa menangkap isyarat darinya itu. Yang ada elo malah merasa kesel karena Ruben selalu saja mengganggu lo dan ujung- ujungnya kalian jadi berantem. Tapi sekarang lo sudah ‘kena’ ‘kan? Dia, si Ruben yang menyebalkan sedunia menurut lo itu, telah berhasil menarik simpati lo… Sejak hari itu lo bilang ‘Kenapa dia nggak pernah mengganggu gue lagi belakangan ini?’, gue sudah bisa menebak perasaan lo yang sesungguhnya ke Ruben. Hanya saja lo yang selama ini terus menyangkalnya,” Manda tersenyum. Ia benar.
Kemudian gantian kata-kata Ruben waktu itu yang terngiang dalam kepalaku, bagai pertunjukan slide yang di-rewind.
“… Karena itu menyenangkan buat gue. Gue suka sekali saat mengganggu lo.”
Wah, payah ya, kok begini saja aku sudah nangis? Ketika itu tiba-tiba saja sebongkah bening menitik di punggung tanganku yang memegangi bingkai jendela. Dasar cengeng!
“Dita! Wuoi, Dita…!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan Adit, kakakku yang lebih tua dua tahun di atasku, dari ruang TV di bawah. “Ada telepon tuh dari cowok lo, si Ruben!”
Hah!? Ruben?
Aku segera menyeka air mataku, dan seketika aku langsung bergegas keluar dari kamarku. Sesaat sebelum meraih gagang telepon kurasakan irama jantungku berdegup sangat kencang. Dag dig dug! Aku gugup.
“Hallo?” kataku. Aku jadi bertambah gugup setelah mendengar suara Ruben pada detik berikutnya.
“Hallo, Dita? Lo kenapa? Kok suara lo parau begitu? Elo sakit, ya? Pantes saja gue telepon ke ha-pe lo, nggak aktif.” (Sebenarnya ponselku sedang di-charge setelah tadi mati total dimainin game) “Tunggu sebentar, gue segera ke sana ya! Oh ya, tadi pagi gue melihat lo di kantin, tapi kenapa lo malah pergi pas gue pangil?”
Ah, Ruben, aku kangen sekali mendengar suaramu…
Aku senang sekali.
Seperti senyum cerah warna-warni pelangi itu—yang kulihat dari balik jendela—yang membentang dengan indah di langit selepas hujan sore itu.
“Hallo? Hallo, Dita? Lo masih disitu ‘kan?”[]

Beri Aku Isyarat #1

Hujan turun cukup deras sepanjang sore itu. Aku berdiri di sudut kamarku sambil menatap ke luar lewat jendela kamarku. Sementara rintik-rintik hujan seolah mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarku di antara volume mp3 yang kusetel di komputer. Saat itu sedang mengalun lagu "Heaven"-nya Bryan Adams (versi akustik yang dinyanyikan ulang oleh DJ Sammy). Tanpa kusadari jari telunjukku seolah bergerak sendiri--entah itu terpengaruh oleh ritmik lagu atau tidak--dan membentuk sebuah nama di atas kaca jendela yang berembun. R-U-B-E-N. lalu tanpa bisa kucegah lagi anganku pun segera membayangkan tentang sosok cowok itu...

Uh, menyebalkan! Kenapa sih aku mesti memikirkannya?

Namun detik berikutnya diriku benar-benar telah hanyut terbuai dalam lamunan...

Aku ingat, dan akan selalu kuingat, ada banyak saat 'indah' dan 'aneh' yang kulalui sama Ruben. Setiap hari di sekolah terasa begitu menyebalkan sekaligus... menyenangkan (uh, aku malas sekali sebenarnya untuk mengakuinya!) bersamanya.

Misalnya, pada saat jam pelajaran terakhir hari itu aku sedang konsentrasi mencatat penjelasan Bu Matilda, Guru Bahasa Inggris-ku, di papan tulis. Tiba-tiba sebuah bola kertas jatuh tepat di atas kepalaku. Itu adalah selembar kertas yang telah diremas sedemikian rupa hingga berbentuk menyerupai bola seukuran bola pingpong. Tuk!

Sial, siapa yang menimpukku? Pasti dia!

Aku segera menoleh ke meja Ruben yang terletak dua meja dari deretan belakang di lajur sebelah kananku. Kulihat cowok itu sedang nyengir, menikmati kesuksesan arah lemparannya yang akurat. Cengirannya persis kuda sumbawa--hieee...!

Sambil berdengus, aku lalu memungut kertas yang dilemparkannya itu. Kemudian kubuka, kubaca tulisan yang tertera di dalamnya. Berikut bunyinya: 

"Dita jelek!
Wajah lo kelihatan tambah jelek kalau lagi serius nyatet seperti itu, tau! :D 

--Ruben"

Wajahku langsung berkerut. Lobang hidungku bergerak kembang kempis meradang geram. Sial! makiku dalam hati. Dasar cowok menyebalkan!-Gue benciiii...

Aku lalu menuliskan kekesalanku itu di balik kertas yang dilemparkannya padaku tadi, kuremas, dan kulemparkan kembali bola kertas itu ke meja si empunya.

"Dita!" Tiba-tiba terdengar suara Bu Matilda menyalak-eh, berseru! "Apa yang kamu lemparkan barusan itu, hah?" tanyanya.

"Ng... anu, Bu..."

"Umm... Gini, Bu, sebenernya Dita mau ngajak saya jalan sepulang sekolah nanti," celetuk Ruben menyela, mengambil alih--bukan, tepatnya menyabotase--pembicaraan. "Tapi saya belum menjawabnya, karena itulah Dita lalu melemparkan kertas ini untuk meminta jawaban saya."

Seketika seisi kelas langsung bergemuruh dan bersorak "Wuuuuuuuuuuuu...!" panjang.

"Hah? A-apa...!?" Aku bengong. Kaget luar biasa.

Sialan! Bullshit banget tuh cowok! Dasar menyebalkan! Gue benciiii! Gue benci diaaaa...

"Sudah, sudah! Diam!" hardik Bu Matilda menenangkan suara riuh anak-anak. "Dengar, Dita, saya juga pernah muda dan saya tau itu memang hak kamu. Tapi kamu harus camkan ini baik-baik, kalau saya tidak suka jika kamu main-main dalam pelajaran saya--kecuali kalau kamu mau saya keluarkan."

Eh? Siapa yang main-main? Yang main-main dari tadi itu dia, si Ruben yang menyebalkan itu!

"Dengar anak-anak, ini juga berlaku buat kalian semua! Saya tidak suka kalau ada yang main-main seperti ini dalam pelajaran saya. Coba kalian bayangkan, akan jadi bagaimana nantinya nasib bangsa ini kalau kalian semua, para generasi muda penerus bangsa, kerjanya hanya main-main. Tidak disiplin..." Bu Matilda kemudian mulai berceramah panjang lebar (huff... itu memang hobinya sih!) yang membuat wajahku merah padam seperti tomat busuk. Karena topik ceramah itu sendiri bermula dari dirku dan dimaksudkan untuk menyindirku. Aku merasa sangat kesal, sekaligus malu di hadapan teman-teman sekelasku.

Selanjutnya...

Beri Aku Isyarat #2
Beri Aku Isyarat #3


Cerpen Pilihan

Mungkin aku kini tampak bodoh dihadapanmu, aku mengaharapkanmu dan terus mencintaimu....
Mungkin aku terlihat gila akan perasaan yang saat ini menyelimuti hatiku....
Terserah engkau mau menganggap aku ini apa, yang jelas perasaan ini mengalir begitu saja dalam palung hatiku....
Tak perduli engkau terus berkata apa, yang aku tau aku tulus memberikan rasa ini untukmu....
Aku tau kau telah berdua dengan yang lain, aku mengerti dan aku sadar akan hal itu...
Tetapi perasaanku pun tak dapat aku bendung dan tak dapat aku ingkari....
Aku mencintaimu sepenuh hatiku... seluruh jiwaku aku persembahkan hanya untukmu....
Aku tak perduli cercaanmu terhadapku, aku tak hiraukan hal itu karna aku percaya pada hatiku....

Aku tau disisi lain ada hati yang saat ini menantiku, menunggu hadirku...
Menungguku menyambut cinta tulusnya yang dia berikan khusus untukku...
Tetapi hati ini tak mampu berpaling darimu dan terus setia menunggumu...
Sedangkan disisi lain cinta yang telah lama menantiku kini perlahan pergi jauh meninggalkanku....

Jujur aku tak tau pilihan mana yang harus aku tunjuk.....
Andaikan semuanya semudah membalikkan telapak tangan, mungkin ini semua tak akan pernah terjadi....
Aku ingin bahagia... aku ingin bisa tertawa dan terbang jauh tinggi keangkasa....
Aku tak ingin air mata ini terus mengalir dan terus menghujani hati yang tulus serta suci....

Saat ini aku tepat berada pada pertigaan hati...
Satu sisi disana terdapat orang yang aku cintai tetapi disana juga aku harus rela melihatnya mencintai orang yang lebih dahulu mencintai cintaku...
Atau aku harus berlari menuju satu sisi lain yang disana terdapat orang yang mencintaiku sepenuh hatinya bahkan rela mengorbankan dirinya untukku..
Atau aku tetap berada pada pertigaan hati ini dan memandang kedalam dua sisi yang tak aku tau harus memilih yang mana...

Aku benar - benar tak mampu memilih salah satu diantara kadua sisi yang saat ini dihadapkan kepadaku..
Aku tak tau jalan mana yang harus aku tempuh agar aku mampu meraih kebahagiaan abadiku ...
Aku tak bisa menentukan cinta yang harus aku aku singgahi....
Aku tak tahu dan tak pernah tau...

Kata Mutiara

Kita tidak akan pernah tahu, sebelum kita melakukannya. Ingatlah satu hal, usaha yang kita lakukan akan sebanding dengan hasilnya.


Jangan cuma berandai-andai atau membayangkan sesuatu, lakukanlah, mungkin apa yang kamu lakukan itu akan berakhir bahagia.

Berusahalah sekuat yang kamu bisa, yakinlah, Tuhan tidak akan berdiam diri.


Jangan menyerah atas hal yg kamu anggap benar meskipun terlihat mustahil. Selama ada kemauan, Tuhan kan berikan jalan.

Bersyukur dan ikhlas menerima apa yang di berikan Tuhan kepada kita, Niscaya hikmahNya tidak akan berhenti mengalir.


Cinta sejati tak datang begitu saja. Banyak proses yg harus dilalui bersama, menderita, menangis, dan tertawa bersama.

Terkadang apa yang kita fikirkan tidak sejalan dengan apa yang kita lalukan.


Belajarlah jujur pada diri sendiri, lakukan apa kata hati, sehingga kamu tidak perlu lagi menyembunyikan apapun dalan hidupmu

Betapa indahnya jika setiap detik yang kita habiskan, menjadi berarti bagi orang lain dan diri sendiri.


Jangan takut mencoba, kesalahan adalah guru terbaik jika kamu jujur mengakuinya dan mau belajar darinya.

Hidup penuh maaf adalah jalan bagi kelapangan dan kedamaian jiwa.


Tersenyumlah dalam mengawali hari, karena itu menandakan bahwa kamu siap menghadapi hari dengan penuh semangat!

Sesulit apapun masalah yang kita hadapi, ia harus diselesaikan, bukan dihindari.


Tegas akan diri sendiri, buang pikiran negatif dan lakukan yang baik. Kegelisahan hanya milik mereka yang putus asa.

Ketika kamu berharap yang terbaik tapi kamu hanya mendapat yg biasa, bersyukurlah kamu bukan yg terburuk.


Hal yang paling sulit adalah mengalahkan diri sendiri, Tapi itu bisa kamu mulai dengan memaafkan diri sendiri.

Sahabat adalah seseorang yg selalu membuat hatimu bahagia. Sahabat selalu membuat hidup jauh lebih menyenangkan.


Terkadang, yang diinginkan sebenarnya tidak dibutuhkan, sedangkan yang dibutuhkan tidak bisa dimiliki. Tapi Tuhan, tahu apa yang terbaik.

Maafkan diri sendiri. Jangan menyesali kesalahan. Maaf itu mengobati hati dan mendamaikan diri.


Jangan pernah iri dengan apa yg orang lain miliki, Setiap orang punya masalahnya sendiri, bersyukurlah untuk hidup ini.

Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain. Iri hati hanya membuat jiwamu gelisah. Jadilah diri sendiri.


Setiap perbuatan yang membahagiakan sesama adalah suatu sikap yang mencerminkan pribadi yang mulia.

Sahabat bukan tentang siapa yg telah lama kamu kenal, tapi tentang siapa yg menghampiri hidupmu dan tak pernah meninggalkanmu.


Jangan pernah merasa dirimu tak cukup baik, karena bagi seseorang, kamu adalah yang terbaik.

Mungkin kamm tidak menyadarinya, tapi hal paling kecil yang kamu lakukan dapat membawa dampak sangat besar bagi orang lain.


Masalah tidak akan menjadi rumit jika kamu bisa menyikapinya dengan sabar dan dengan kelapangan hati.

Bangkitlah dari kesedihan, karena kesedihan adalah proses yang harus dilalui untuk menuju kebahagiaan.


Dari hal-hal baik, belajarlah untuk mengucap syukur. Dari hal-hal buruk, belajarlah untuk menjadi kuat.

cerpen cinta

Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa.

Di sebuah kamar kost-an, aku duduk di atas tempat tidur. Tangan kananku memegang sebatang cokelat. Di tangan kiriku, aku memainkan sebuah permainan, di handphone kesayanganku.

“Tari, perasaan dari tadi pagi lo makan cokelat terus. Apa enggak takut gemuk?” tanya Wery, sambil berbaring di tempat tidur yang terletak di samping kanan tempat tidurku.

“Iya, gue heran deh sama Lestari. Padahal kalau makan cokelat enggak tanggung-tanggung. Sekali makan bisa habis dua batang. Tapi kenapa badan lo enggak gemuk sih?” Hanny yang dari tadi sibuk ber-SMS-an dengan Deni, pacarnya, ikut melibatkan diri dalam obrolan kami.

“Jangan-jangan lo muntahin lagi, ya?” timpa Wery, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan dari mereka.

“Wah, jangan-jangan iya, nih. Lo bulemia ya?”

“Bulemia? Yang benar tuh, bulimia. Bukan bulemia. Makanya kalau punya kamus kedokteran itu dibuka-buka. Jangan disimpan aja,” ledek Wery, sambil tertawa terbahak-bahak.

Kami pun kemudian tertawa.

Begitulah suasana di kost-an bila malam tiba. Selalu ramai dengan canda tawa. Kata-kata yang Hanny dan Wery lontarkan, terkadang memang dalam. Tapi memang begitulah mereka. Ceplas-ceplos.

Untuk menanggapi mereka yang seperti itu, aku harus menganggap bahwa kata-kata yang mereka lontarkan itu tidak serius. Mereka hanya bercanda. Kalau aku mengganggap serius kata-kata mereka. Dijamin, aku enggak akan betah tinggal di kost-an.

“Eh, tapi benar enggak sih, kalau lo bulimia?” Henny masih penasaran.

“Ya, enggak lah. Ngapain juga gue harus muntahin makanan yang sudah gue makan. Kalau gue ngelakuin itu, bisa-bisa, dinding perut, usus, ginjal, gigi, semuanya rusak. Dan yang lebih parah, gue bisa meninggal karena kekurangan gizi. Mending gue meninggal karena dicium Fikri, dari pada gue meninggal karena kekurangan gizi,” aku yang sejak tadi bergeming, akhirnya menanggapi kata-kata mereka.

“Cieee... yang tadi pagi baru jadian. Omongannya enggak nahan.”

Tok... tok... tok....

Tiba-tiba pintu rumah di ketuk dari luar.
Wery, yang bertugas piket hari ini, bangkit untuk membukakan pintu.

“Tari, gue mau curhat!” Laras, saudara kembarku, sudah berdiri di depan pintu kamar, padahal baru lima belas detik Wery membuka pintu. Laras kemudian langsung berlari ke arahku.

“Lo ke sini sama siapa? Sudah malam begini,” tanyaku, heran.

“Sendiri. Gue sengaja ke sini, mau curhat sama elo. Lagian, besok gue enggak ada jadwal kuliah. Jadi gue bisa nginep di sini.”
“Eh... enggak bisa, enggak bisa. Bertiga aja sudah sempit. Apalagi ditambah satu gajah.” Hanny protes.

“Teman lo keterlaluan banget, sih. Masa gue dibilang gajah. Lagian, kamar ini kan masih luas banget!” Laras marah.

“Hanny memang begitu. Udah, enggak usah di masukin ke hati. Cuekin aja. Kita pindah ke kamar sebelah aja, yuk.”

Aku dan Laras kemudian bergeras meninggalkan kamar yang ditempati Hanny dan Wary. Kami menuju kamar yang lain, yang terletak tidak jauh dari kamar mereka.

Di rumah yang kami kontrak ini, hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk tidur. Satu kamar lagi untuk lemari pakaian dan rak buku. Kami sengaja mengaturnya seperti itu. Karena yang tinggal di rumah ini bukan hanya dua orang. Melainkan tiga orang. Selain itu, agar kebersamaan dan kekeluargaan di antara kami lebih terasa.

Sesampainya di kamar, laras langsung merebahkan diri ke karpet, yang berada tepat di tengah-tengah deretan lemari. Aku yang memang sudah lelah, ikut berbaring di sampingnya.

“Tari, lo tahu enggak. Tadi pagi gue ketemu cowok, cakep banget. Rambutnya ikal, matanya cokelat, hidungnya mancung, senyumnya manis, terus di pipi kanannya ada tahi lalat. Pokoknya sempurna banget, deh. Gue suka sama dia.”

“Ketemu di mana? Namanya siapa?” tanyaku, antusias. Perasaan lelah itu hilang seketika, tergantikan olah semangat yang baru. Karena baru kali ini Laras menceritakan tentang perasaannya pada seorang pria. Baru kali ini dia jatuh cinta. Padahal usianya sudah hampir sembilan belas tahun.

“Gue ketemu dia waktu di toko buku. Namanya Fikri.”

“Siapa?!” tanyaku, tak percaya.

“Fikri. Fikri Adi Dinata. Kalau enggak salah, dia juga kuliah di kampus lo, di jurusan Kesehatan Masyarakat. Lo kenal?! Ih... salamin ya.”
Seluruh rasa antusias itu seakan luruh. Semangatku untuk mendengar cerita Laras, hilang begitu saja. Kebahagiaan yang tadi sempat mengisi relung hatiku, tercabut secara paksa. Meskipun begitu, aku tidak ingin mengecewakan Laras. Aku tetap mendengarkan cerita tentang pertemuannya dengan Fikri. Tak tega rasanya membuatnya kecewa. Ia begitu bersemangat, begitu bahagia.

Aku benar-benar bingung sekarang. Aku harus bagaimana?! Laras ternyata mencintai Fikri, pacarku sendiri. Ini bukan salahnya, karena dia tidak pernah mengetahui bahwa aku dan Fikri, sebenarnya pacaran. Ini adalah kesalahanku sepenuhnya, karena aku tidak pernah memberi tahu Laras. Tapi aku tidak tega menghancurkan perasaannya. Cinta pertamanya!
***

“Fikri, hari ini kamu masih ada jam kuliah enggak?”

“Enggak ada. Memang ada apa?”

“Aku ingin ke pantai. Kamu mau menemaniku?”

“Untuk kamu, apa sih yang enggak?”

“Ya sudah. Berangkat, yuk.”

“Oke.”

RX King milik Fikri melaju dengan kencang. Membelah jalanan Kota Baja yang penuh debu.

Semilir angin pantai menerpa wajah tirusku, yang terduduk bagai di hamparan lautan es kim. Rambut ikal bergelombang menari mengikuti arah angin berhembus. Lenganku memeluk lutut. Pandanganku lurus ke garis horizontal.

Fikri duduk di samping kiriku. Kedua kakinya diluruskan. Tangannya meremas butir-butir pasir yang ada di samping kanan dan kirinya. Selama beberapa saat kami terdiam. Hanya suara debur ombak yang terdengar.

“Tari, sebenarnya apa yang ingin kamu katakan?” tanya Fikri, tiba-tiba. Ia seakan merasakan ada sesuatu yang kusembunyikan.

Aku bangkit, kemudian berseru, “Fikri, aku ingin bermain dengan ombak.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

Fikri kemudian menggenggam dengan lembut tanganku. Aku menatapnya. Mataku dan matanya saling beradu. Ada kepedihan di hatiku.

Aku melepaskan genggaman Fikri. Dengan gontai aku melangkah, mendekati riak ombak yang menjilati hamparan es krim itu. Fikri menyejajarkan langkahnya dengan langkahku.
Aku hentikan langkahku, saat ombak yang menerjang kakiku semakin kuat. Fikri masih berada di sampingku.

“Sayang, kamu kenapa? Pasti ada sesuatu hal yang ingin kamu katakan padaku.”

“Fikri, kita adu lari, yuk. Sampai tembok pembatas itu ya,” untuk kedua kalinya aku mengalihkan pembicaraan.

“Oke. Tapi kalau kamu kalah, kamu harus mengatakan yang sejujurnya. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan.”

Setelah aku merasa letih, aku kemudian berhenti dan berbalik. Ternyata aku sudah jauh meninggalkan Fikri, yang memang tidak ikut berlari. Masih dengan nafas tersengal-sengal, aku kembali berlari ke arah Fikri. Aku merasakan beban di hatiku kini sedikit berkurang.

“Kamu curang,” seruku, masih dengan tersengal-sengal.

“Kamu larinya semangat banget, sih. Jadi aku enggak bisa menyusul deh,” jawab Fikri, sekenanya.

Aku kemudian terdiam. Pandanganku kembali tertuju ke garis horizontal. Namun kini, sebuah senyuman mengembang dari bibir tipisku. Perasaanku lebih tenang.

“Sayang, sebenarnya ada apa sih?”.

“Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Hanya bersamamu, hari ini,” jawabku. Pandanganku masih tertuju ke garis horizontal.

Fikri kemudian tersenyum, sambil berkata, “Aku pikir kamu mau cerita sesuatu. Karena kamu selalu mengajak aku ke pantai, kalau mau cerita sesuatu.”

“Masa, sih?”

“Bukannya iya?”

Kami pun bercanda dan tertawa. Menghabiskan hari ini bersama. Berdua, di tepi pantai. Kami bercanda dan tertawa, hingga senja berada di ufuk barat.
***

Kala senja berada di ufuk Barat, tepat berada di tengah garis horizontal, aku mengatakan, “Fikri, aku sudah memutuskan bahwa aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku enggak bisa pacaran sama kamu. Ada seseorang yang lebih pantas untukmu.”
“Maksud kamu apa?!”

Aku kemudian menarik nafas, dalam dan panjang. Menghembuskannya perlahan. Aku berusaha untuk tersenyum, meskipun hatiku terluka. Sama seperti yang Fikri rasakan saat ini.

“Aku sudah terlalu sering menyakitimu. Aku tidak berhak mendapatkan cintamu. Kamu berhak mendapatkan wanita lain yang lebih baik dariku. Dia adalah Laras.”

“Laras?! Saudara kembarmu? Lestari, cinta itu bukan bola, yang bisa kamu oper sesuka hatimu. Sekalipun, kepada saudara kembarmu!” Fikri marah besar.

Hatiku semakin terluka. Aku menyadari, bahwa cinta memang bukanlah sebuah bola. Tapi demi kebahagiaan Laras, aku berharap, cintamu padaku seperti halnya sebuah bola. Sehingga cinta itu bisa dioper kepada Laras. Dan membuatnya bahagia.

Kau Yang Terindah

Hilang..
Semua telah hilang dari hadapanku..
Setelah betapa bodohnya aku.. begitu saja meninggalkanmu..
Ntah apa yang merasuki pikiranku..
Yaa..
Aku sadar betapa bodonya diriku,
Begitu mudahnya aku, menyakiti hatimu,,
mungkin aku adalah orang yang paling bodoh yang pernah singgah dalam hidupmu..
Tapi..
Setelah aku menyadari kesalahanku..
Mengapa begitu cepat kau pergi dari hidupku?
Semuanya seakan hilang begitu saja dari hadapanku..
Seandainya..
Kau tau sepi hati ini, telah hancur dengan kepergianmu..
Maafkan aku.. yang telah membuat hancur hatimu.. lukai perasaanmu..
Tak kuat raga ini melihatmu telah mendapat penggantiku..
Hancur hati ini..
Hancur berkeping-keping,,
Aku tidak akan pernah melupakanmu,,
Kamu yang telah memberi warna dalam hidupku..
Membuat hari-hariku bahagia..
Tapi,
Aku belajar melupakanmu..
Tapi bukan berarti aku lupa kalau aku pernah sayang padamu..
Dan kamu pernah menjadi bagian indah dalam hidupku..
Semua itu karena “Kau Yang Terindah”

Itu Aku

Yang Terasing dari pandangan
Terbuang dari etika kebersamaan
Yang kini harus menunggu
Itu aku
Yang kini harus pergi
Mencari tempat sunyi
Menjauh dari mata-mata ambigu
Itu juga aku
Aku terima perdaban ini
Dimana tempat aku mengadu
Muntahkan onggokan duka
Tumpahkan murka dimuka jiwa
Jika bumi ini harus berhenti
Maka aku juga yang takpunya tempat berdiri
Kini aku hanya merasa
Dan harus bisa yakin
Dihadapannya aku juga punya tempat
Meski takseindah taman-taman syurga
Seperti yang mereka punya

Kamu

apakah kehidupan ini bisa hidup tanpa kata “kamu”..
apakah keindahan ini bisa nampak tanpa kata “kamu”..
apakah bahagia ini juga bisa ada tanpa “kamu”..
dan apakah juga hati ini akan bersandar tanpa kata “kamu”..

sungguh aku ingin itu terjadi..
“kamu” sebuah kata yang tak pantas lagi ada disini..
“kamu” yang udah tak lagi indah di lisan ini..
“kamu” yang tak lagi unik dalam pikiran ini..
dan “kamu” yang tak lagi sejuk sa’at hati ini mengingini..
apakah kamu sebaik yang ada dalam fikiran ini..
“kamu” indah saat aku mencari
“kamu” nyaman saat aku didampingi..
dan kamu, kamu, kamu, kamu..
sa’at sedang jatuh dan menunggu..
hanya “kamu”..
ah masa bodoh dengan kamu..
yang aku tau, aku sedikit bahagia karenamu..
tak lebih menyenangkan dari berada di bawah awan kelabu..
taukah engkau maksudku..
Aku mencintaimu..

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Princes_ikhaUnyu"

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger